Idealisme
Plato (Forma, Becoming, Kebaikan Universal) Dan Realisme Aristoteles (Forma
Materia, Teori Empat Causa, Etika Kebahagiaan)
A.
Pendahuluan
Sebagian
besar orang mengatakan bahwa filsafat itu sangat susah dan sulit, namun
demikian orang-orang tersebut tidak menyadari bahwa keseharian mereka di isi
dengan filsafat, atau bisa dikatakan mereka telah berfilsafat dalam
kehidupannya. Pemikiran seperti ini didasari, karena pemahaman mereka tentang
filsafat masih sangat sedikit dan bahkan belum tau tentang filsafat itu apa.
Orang-orang
terdahulu hingga sekarang, yang mencintai filsafat atau para filosof
mengartikan filsafat yaitu mencintai kebijaksanaan, sehingga ketika berfilsafat
berarti mereka telah mencintai kebijaksanaan, namun bukan berarti merasa
dirinya sudah benar. Cinta kebijaksaan berarti akan selalu mencari bagaimana
mendapatkan kebijaksaan itu, karena hal yang kita cintai tentulah ada usaha
untuk mendapatkan hal tersebut.
Sejarah
tentang filsafat ini membawa kita untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang
pemikiran-pemikiran para filosof terdahulu. Dengan hasrat ingin mengetahui
pemikiran tersebut, membawa kita untuk lebih dalam lagi mengkaji tentang
pemikiran filosof-filosof itu.
Perlunya
mengkaji pemikiran tersebut adalah sebagai sarana untuk merangsang pikiran kita
untuk bisa lebih berkembang lagi, dan lebih luas lagi. Dari sekian banyak
pemikiran tersebut pemakalah akan mengangkat tentang pemikiran filosof Plato
dan Aristoteles. Pemikiran Plato dan Aristoteles ini sangat menarik untuk di
bahas, karena sebagaimana kita ketahui bahwa Plato dan Aristoteles dikenal
sebagai bapak Filsafat.
Atas dasar pemikiran Plato dan Aristoteles
inilah yang menjadi latar belakang pembuatan makalah ini, Sejarah filosof dari
thales sampai socrates belum pernah terdengar bahwa mereka menuangkan pemikiran
mereka ke dalam sebuah tulisan, karena mereka lebih bersifat dialektika. Namun,
setelah masuk zamannya Plato, kemudian pemikiran-pemikiran filsafat itu pun
dibukukan, sehingga ada sebuah pedoman atau bahan untuk generasi berikutnya
yang ingin mengkaji tentang pemikiran para filosof terdahulu.
B.
Pembahasan
1. Plato
Plato
dilahirkan sekitar tahun 428/427 SM di Athena. Dan meninggal di sana pada tahun
347 SM. Dalam usia 80 tahun. dia berasal dari keluarga bangsawan. Salon (abad
ke-6 SM), sang pemberi hukum bagi Athena, adalah salah satu kakek dari sisi
ibunya. Sementara dari pihak ayahnya, ia masih keturunan raja terkakhir Athena.
Plato memiliki dua saudara ( Adimantes dan Glaukon ) serta satu saudari
(Potone). Saat Plato lahir, Athena merupakan sebuah Kota yang paling berkuasa
di Yunani dengan sistem demokrasi. Kekuatan militer dan maritimnya nomor satu,
kultur intelektual dan artistiknya jauh mengatasi polis-polis lain di Yunani.
Dia masih mudah ketika Athena kalah perang, dan dia menunjuk sistem demokrasi
lah penyebab kekalahan itu.
Pelajaran
yang diperoleh dimasa kecilnya Selain dari pelajaran umum, ialah menggambar dan
melukis, belajar musik dan puisi. Ketika beranjak dewasa ia sudah pandai
membuat karangan yang bersajak.
Pada
masa anak-anaknya plato mendapat pendidikan dari guru-guru filosofi. pelajaran
filosofi mula-mula diperolehnya dari Kratylos. Kratylos dahulunya adalah murid
Herakleitos. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Socrates.
Pelajaran itulah yang memberi kepuasaan baginya. Pengaruh Socrates makin hari
makin mendalam padanya. Ia menjadi murid socrates yang setia. Sampai pada akhir
hidupnya socrates tetap menjadi pujaanya.
Plato
mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan
puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekali pun
dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang
filosof sebelumnya yang dapat
menandinginya dalam hal ini. Ketika socrates meninggal, ia sangat sedih dan
menamakan dirinya seorang anak yang kehilangan bapak. Tak lama sesudah socrates meninggal, Plato
pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara dua belas tahun lamanya, dari
tahun 399 SM-387 SM. Mula-mula ia pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan
filosofinya. Di ceritakan bahwa di Megara ia mengarang beberapa dialog, yang
mengenai berbagai macam pengertian dalam masalah hidup, berdasarkan ajaran
socrates.
Idealisme Plato Tentang
Ilmu Filsafat
a. Ajaran
tentang ide
Salah
satu pemikiran Plato yang sangat fenomenal yakni ajaran tentang ide-ide. Ajaran
tentang ide-ide ini merupakan inti dasar seluruh filsafat Plato. Namun, arti
ide yang dimaksud oleh Plato berbeda dengan pengertian orang-orang moderen
sekarang, yang hanya mengartikan bahwa kata ide adalah suatu gagasan atau
tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja. Sehingga orang-orang akan
menganggap bahwa ide merupakan suaatu yang bersifat subjektif belaka. Plato
mengartikan kata ide itu merupakan suatu yang objektif. Menurut Plato ada
ide-ide yang terlepas dari subjek yang berpikir. Beliau mengatakan bahwa semua
yang ada di entitas ini semuanya ada di alam ide tersebut, yakni alam tersebut di analogikan seperti
cetakan kue dan kue-kuenya itu adalah entitas-entitas ini.
Menurut
Plato ide-ide tidak bergantung pada pemikiran, sebaliknya pemikiran bergantung
pada ide-ide. Justru karena ada ide-ide yang berdiri sendiri. Pemikiran kita
dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain dari pada menaruh perhatian kepada
ide-ide itu.
Adanya ide-ide
Munculnya
pemikiran Plato tentang ide-ide adalah terinspirasi dari gurunya yakni
socrates. Dimana socrates dikisahkan bahwa beliau berusaha mencari
defenisi-defenisi, ia tidak puas dengan menyebut satu persatu
perbuatan-perbuatan yang adil atau tindakan-tindakan yang berani. Ia ingin
menyatakan apa keadilan atau keberanian itu sendiri, atau bisa dikatakan bahwa
socrates mencoba mencari hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan
lain tersebut. Karena pemikiran gurunya ini lah Plato kemudian meneruskan usaha
gurunya tersebut lebih jauh lagi. Menurut dia esensi itu mempunyai realitas,
terlepas dari segala perbuatan kongkret. Ide keadilan, ide keberanian dan
ide-ide lain itu ada.
Menurut Plato realitas
itu terbagi menjadi dua yakni:
Dunia indrawi
Realitas
yang pertama ini yakni adalah yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan
kepada panca indra, atau bisa dikatakan relaitas yang pertama yang dimaksud
Plato adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh indra seperti bunga, pohon dan
lain-lain. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam
perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu, lagi pula dunia
indrawi ditandai oleh pluralitas. Sehingga bunga tadi, masih ada banyak hal
yang bagus juga.
Dunia ide
Disamping
ada dunia indrawi yang senantiasa berubah, menurut Plato ada juga sebuah dunia
yang tidak pernah berubah yakni disebut dunia yang terdiri atas ide. Semua ide
bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang
bagus karena hanya terdapat satu ide “ yang bagus”. Demikian pula dengan
ide-ide yang lain yang bersifat abadi dan sempurna.
Namun,
ketika Plato mengatakan bahwa dunia itu ada yakni dunia indrawi dan dunia
ideal, kemudian apa keterkaitan antara kedua dengan dunia ini tersebut? Ide-ide
sama sekali tidak di pengaruhi oleh benda-benda jasmani. Lingkaran yang
digambarkan pada papan tulis lalu di hapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi
ide “lingkaran”. Tetapi Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani.
Hubungan antara ide-ide dan realitas jasmani bersifat seperti yang ada di atas,
sehingga benda-benda jasmani tidak bisa tanpa pendasaran oleh Ide-ide itu.
b. Manusia
Menurut Plato
Plato
menganggap jiwa sebagai pusat atau inti sari keperibadian manusia. Dalam
anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh socrates, tetapi
juga oleh orfisme dan madzhab Pythagorean. Dengn mempergunakan semua unsur itu,
plato menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan
pendiriannya mengenai ide-ide.
Kebakaan jiwa
Plato
meyakini dengan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini
bersangkut paut dengan ajarannya tentang ide-ide. Dalam dialog-dialognya plato
sering kali merumuskan argumen-argumen yang mendukung pendapat-pendapatnya
tentang kebakaan jiwa. Salah satu argumennya adalah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan ide-ide.
Dalam
dialog Phaidros terdapat argumen lain yang bermaksud membuktikan kebakaan jiwa.
Disini Plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan dirinya sendiri
dan oleh karenya juga dapat menggerakan badan. Plato tidak menjelaskan secara
detail mengenai kebakaan jiwa. Dia hanya memberikan mitos yang melukiskan nasib
jiwa sesudah kematian badan.
Mengenal sama dengan
mengingat
Bagi
Plato jiwa itu bukan saja bersifat baka, dalam artian bahwa jiwa tidak akan
mati pada saat kematian badan, melainkan juga kekal, karena sudah ada sebelum
hidup di bumi ini. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu Pra
eksistensi, dimana ia memandang ide-ide. Plato berpendapat bahwa pada ketika
itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama, berdasarkan pendiriannya mengenai
Pra Eksistensi jiwa, Plato merancang suatu teori tentang pengenalan. Bagi Plato
pengenalan pada pokoknya tidak lain dari pada pengingatan akan ide-ide yang telah dilihat pada waktu Pra
Eksistensi itu,
Bagian-bagian jiwa
Jiwa
terdiri dari 3’’bagian’’. Kata “ bagian” ini harus dipahami sebagai “fungsi” ,
sebab Plato sama sekali tidak memaksudkan bahwa jiwa mempunyai keluasan yang
dapat dibagi-bagi. Pendirian Plato tentang tiga fungsi jiwa tentu merupakan
kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia. Bagian pertama ialah
bagian rasional ( to logistikon ). Bagian kedua ialah “bagian keberanian” (to
thymoaeides). Dan bagian ketiga ialah “bagian keinginan” (to epithymetikon). “
bagian keberanian “ dapat dibandingkan dengan kehendak, sedangkan “ bagian
keinginan” menunjukkan hawa nafsu.
Plato
menghubungkan ketiga bagian jiwa masing-masing dengan salah satu keutamaan tertentu.
Bagian keinginan mempunyai pengendalian diri ( sophorosyne ) sebagai keutamaan
khusus. Untuk “ bagian keberanian” keutamaan yang spesifik (andreia). Dan
“bagian rasional” dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau
sophia).
Dikatakan
bahwa karena hukum lah sehingga jiwa di penjarakan dalam tubuh. Secara
mitologisnya kejadian ini diuraikan dengan pengibaratan jiwa adalah laksana
sebuah kereta yang bersais (fungsi rasional), yang di tarik oleh dua kuda
bersayap, yaitu kuda kebenaran, yang lari keatas, ke dunia ide, dan kuda
keinginan atau nafsu, yang lari ke bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik-menarik
itu akhirnya nafsu lah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala
dan dipenjarakanlah jiwa.
Agar
supaya jiwa dapat dilepaskan dari penjaranya, orang harus mendapatkan
pengetahuan, yang menjadikan orang dapat melihat ide-ide, melihat ke atas. Jiwa
yang di dalam ini berusaha mendapatkan pengetahuan itu kelak setelah orang
mati, jiwa akan menikmati kebahagiaan melihat ide-ide, seperti yang telah dia
alami sebelum dipenjarakan di dalam tubuh. Menurut Plato bahwa ada
praeksistensi jiwa dan jiwa tidak dapat mati. Hidup di dunia bersifat
sementara saja, sekali pun demikian
manusia begitu terpikat kepada dunia gejala yang dapat diamati, sehingga sukar
baginya untuk naik ke dunia ide. Hanya orang yang benar-benar mau mengerahkan
segala tenaganyalah yang akan berhasil. Dalam kenyataan hanya sedikit orang
yang berhasil, karena masyarakat di sekitarnya tidak dapat mengerti perbuatan
orang bijak yang mencari kebenaran dan berusaha keras untuk menahan orang bijak
di dunia gejala ini.
c. Ajaran
Nilai Plato
Dikatakan
dalam buku-buku yang menjelaskan tentang Plato, sebagian besar membahas tentang
pemikiran-pemikiran Plato dibandingkan
sejarah beliau. Disamping itu Plato menjelaskan ajaran-ajaran tentang
ide dan jiwa, namun Plato juga mengeluarkan pemikiran yang berkaitan dengan
ketata negaraan. Plato membahas tentang sebuah negara yang ideal yakni
disebutkan bahwa puncak pemikiran Plato adalah pemikiran tentang negara,
yang tertera dalam bukunya polites dan
nomoi. Pemikirannya tentang negara ini adalah untuk upaya memperbaiki keadaan
negara yang telah rusak dan buruk.
Di
athena pada waktu itu memiliki suatu sistem negara yang buruk menurut Plato,
sehingga mendorong beliau untuk membuat suatu konsep yang bisa memperbaiki
konsep negara yang buruk itu. Konsepnya tentang negara yang dikeluarkan oleh
Plato yakni konsep negara yang di dalamnya terkait etika dan teorinya tentang
negara yang ideal. Konsep etika yang dikemukakan oleh Plato seperti halnya
konsep etika yang dikeluarkan socrates gurunya sendiri, yakni tujuan hidup
manusia adalah hidup yang baik (eudamonia atau well-being). Akan tetapi untuk
hidup yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa di dalam negara. Alasannya,
karena manusia mempunyai kodrat yakni makhluk yang sosial dan di dalam polis
(negara). Sehingga untuk mendapatkan
hidup yang baik harus di dalam negara yang baik. Dan sebaliknya, negara yang jelek
atau buruk tidak mungkin menjadikan para warganya hidup dengan baik.
Menurut
Plato, untuk membangun sebuah negara yang ideal diperlukan sebuah konsep
tentang negara yang baik. Menurutnya, negara yang ideal harus terdapat tiga
golongan yang menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara yakni:
• Golongan yang tertinggi, terdiri dari
orang-orang yang memerintah yakni seorang filosof.
• Golongan pelengkap atau menengah yakni
yang terdiri dari para prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan negaradan
menjaga ketaatan para warganya.
• Golongan terendah atau golongan rakyat
biasa, yakni yang terdiri para petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk
memikul ekonomi negara.
Gambaran Plato tentang
negara di ilustrasikan dengan bagian tubuh manusia seperti di bawah ini:
Tubuh
|
Jiwa
|
Sifat
|
Negara
|
Kepala
|
Akal
|
Kebijaksanaan
|
Pemimpin
|
Dada
|
Kehendak
|
Keberanian
|
Pelengkap
|
Perut
|
Nafsu
|
Kesopanan
|
Pekerja
|
Menurut
Plato terciptanya negara yang baik tergantung pada siapa yang memerintah, jika
akal yang memerintah sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka filosoflah yang
harus mengatur masyarakat, sehingga dia mengatakan bahwa negara yang baik tidak
akan pernah ada apabila filosof belum menjadi pemimpin di negara tersebut.
2. Aristoteles
Aristoteles
lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya
termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi
Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid
Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama
20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal,
dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia.
Saat
Alexander berkuasa pada tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan
bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi
nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring
jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari Athena guna
menghindari nasib naas sebagaimana dulu dialami Socrates. Aristoteles meninggal
tak lama setelah pengungsian tersebut Aristoteles sangat menekankan empirisme
untuk menekankan pengetahuan.
a. Metafisika
Menurut Aristoteles
Sebutan metafisika sebenarnya adalah sebutan yang
kebetulan. Yang mana sebutan ini bukanlah berasal dari Aritoteles melainkan
dari Andronikus yang mencoba menyusun karya-karya Aristoteles mengenai filsafat
pertama yang mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Metafisika berasal dari kata
meta-ta-fisika. Meta sendiri berarti sesudah atau di belakang. Maka judul
metafisika pada saat itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna
mengungkapkan pandangan Aristoteles mengenai hal-hal yang di belakang
gejala-gejala fisik. Metafisika
aristoteles berpusat pada masalah “barang” (substansi atau materi pertama) dan
“bentuk”(materi kedua). Ia mengemukakan bentuk sebagai pengganti pengertian
idea Plato yang ditolaknya. Bentuk ikut memberikan kenyataan pada benda.
Tiap-tiap benda didunia ini adalah barang (substansi) yang berbentuk. Barang
atau materi dalam pengertian Aristoteles berlainan dari pendapat materi biasa
tentang materi.
Segala
perubahaan merupakan hasil dari pembentukan materi. Aristoteles mengemukakan
bahwa sebab yang menggerakkan (perubahan) ialah Tuhan. Seperti yang kita liat
secara realitas, gerak itu ada yang menyebabkan dan sampai akhirnya kita pada
sebab-gerak pertama yang imateriil, tidak bertubuh, tidak bergerak dan tidak
digerakkan, serta cerdas sendirinya. Sebab gerak yang pertama itu ialah Tuhan.
Nus itu disamakan pula dengan pikiran murni, pikir dari pada pikir. Tuhan yang
berbentuk pikiran itu tidak memerlukan manusia, tidak memerlukan benda-benda,
melainkan sebaliknya dunia tergerak padanya. Setiap hal yang bergerak
digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan ada satu penggerak pertama yang
menyebabkan gerak itu tetapi Ia sendiri
tidak digerakkan.
Aristoteles
mengungkapkan bahwa segala perubahan itu ada 4 pokok sebab:
1.
Sebab-substansi (barang/materi pertama),
yang memungkinkan terjadinya sesuatu atasnya dan dengannya. Sebagai contoh:
kayu, batu, besi dll.
2.
Sebab-bentuk, yang terlaksana didalam
substansi. Sebagai contoh: rumah.
3.
Sebab-gerak, sebab yang datang dari
luar, yakni tukang pembuat rumah.
4. Sebab-tujuan,
yang dituju oleh perubahan dan gerak, yakni rumah yang sudah jadi.
Sebab
tujuan ini adalah suatu yang penting dalam keterangan metafisika Aristoteles
tentang alam. Jadi teleologinya memiliki 2 kategori, pertama kepercayaan agama
bahwa segala yang terjadi di dunia ini adala suatu perbuatan yang terwujud oleh
Tuhan, yang mengatur segala-galanya. Selain itu, ia berpendapat pula, bahwa
alam ini dan yang hidup didalamnya merupakan berbagai jenis organisme yang
berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan, alam tidak berbuat jika
tidak bertujuan.
b. Teori
Empat Causa
Gagasan
mengenai keempat sebab telah digagas oleh Aristoteles dalam bukunya. Kemudian,
gagasan ini diperdalam dalam Metafisika. Elaborasi ini sesuai dengan disiplin
metafisika sebagai pencaharian dan permenungan tentang sebab-sebab. Ke empat
teori causa tersebut, yakni :
1. Causa materialis atau materia adalah
sesuatu oleh mana terjadi atau terbuat suatu hal. Materia dari
binatang-binatang adalah daging dan tulang, materia bagi patung adalah kayu
atau marmer, materia bagi bangunan rumah adalah pasir, batu, kayu, semen dan
lain sebagainya. Causa materialis merujuk pada bahan yang menjadi unsur untuk
membuat segala sesuatu.
2. Causa formalis atau forma atau esensi
dari segala sesuatu. Forma merujuk pada struktur atau hakekat yang membuat
materi berbeda dari materi lainnya. Misalnya kayu gelondongan dapat dibuat
menjadi sekian banyak barang karena formanya. Seperti untuk meja adalah
ke-meja-an, kursi: ke-kursi-an, lemari: ke-lemari-an, manusia: ke-manusia-an
dst.
3. Causa efficiens atau penggerak/pelaku
adalah sesuatu dari mana perubahan dan gerak dari segala sesuatu berasal.
Misalnya, tukang adalah orang yang membuat meja, kursi, lemari, pemahat adalah
pelaku yang mengubah sebongkah marmer atau sepotong kayu menjadi patung atau
benda-benda lainnya.
4. Causa finalis atau tujuan adalah sesuatu
untuk apa suatu hal dibuat. Aristoteles mengatakan bahwa causa finalis adalah
kebaikan dari setiap hal. Misalnya, kursi dibuat untuk duduk, meja untuk makan
dan menulis, lemari untuk menyimpan pakaian atau piring dan mangkok, dst.
Jadi,
eksistensi dari segala sesuatu selalu mensyaratkan keempat sebab tersebut.
Itulah yang disebut dengan causa proxima dari segala sesuatu.
c. Etika
Kebahagiaan
Pandangan
Aristoteles mengenai mencapai kebahagiaan sebagai tujuan akhir sejalan dengan
pandangan Sokrates mengenai rasio. Menurutnya, pengetahuan saja tidaklah cukup
untuk menjamin atau menjadi tolak ukur untuk memahami tujuan manusia hidup. Mau
tidak mau, manusia harus melakukan suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan
bukanlah tindakan yang berkesan sembarangan atau sembrono belaka, tetapi
melainkan tindakan yang mencerminkan kemampuan manusia yang bernilai dan
bermakna. Inilah yang disebut dengan rasio. Rasio menciptakan dua pola
kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :
•
Theoria
Theoria artinya
memandang (theorem)-, yaitu merenungkan suatu realitas secara mendalam. Hal ini
melibatkan jiwa manusia (“logos” atau roh). Menurut Aristoteles, kegiatan ini
adalah kegiatan yang paling luhur dan membahagiakan.
•
Praxis
Praxis menjelaskan
kebahagiaan dalarn relasi antar manusia. Praxis diwujudkan melalui
tindakan-tindakan dalam sebuah komunitas (keluarga, masyarakat, negara) untuk
sebuah pencapaian kebahagiaan bersama. Praxis yang benar dijelaskan dalam
sebuah buku “Ethica Nikomacheia”, yang di dalamnya dirumuskan tentang keutamaan
etis.
2 comments
Terima kasih..izin copy paste ya
Ada file (doc)nya??
EmoticonEmoticon