-->

04 November 2016

Makalah Idealisme Plato (Forma, Becoming, Kebaikan Universal) Dan Realisme Aristoteles (Forma Materia, Teori Empat Causa, Etika Kebahagiaan)

Idealisme Plato (Forma, Becoming, Kebaikan Universal) Dan Realisme Aristoteles (Forma Materia, Teori Empat Causa, Etika Kebahagiaan)

A.     Pendahuluan

Sebagian besar orang mengatakan bahwa filsafat itu sangat susah dan sulit, namun demikian orang-orang tersebut tidak menyadari bahwa keseharian mereka di isi dengan filsafat, atau bisa dikatakan mereka telah berfilsafat dalam kehidupannya. Pemikiran seperti ini didasari, karena pemahaman mereka tentang filsafat masih sangat sedikit dan bahkan belum tau tentang filsafat itu apa.

Orang-orang terdahulu hingga sekarang, yang mencintai filsafat atau para filosof mengartikan filsafat yaitu mencintai kebijaksanaan, sehingga ketika berfilsafat berarti mereka telah mencintai kebijaksanaan, namun bukan berarti merasa dirinya sudah benar. Cinta kebijaksaan berarti akan selalu mencari bagaimana mendapatkan kebijaksaan itu, karena hal yang kita cintai tentulah ada usaha untuk mendapatkan hal tersebut.

Sejarah tentang filsafat ini membawa kita untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang pemikiran-pemikiran para filosof terdahulu. Dengan hasrat ingin mengetahui pemikiran tersebut, membawa kita untuk lebih dalam lagi mengkaji tentang pemikiran filosof-filosof itu.

Perlunya mengkaji pemikiran tersebut adalah sebagai sarana untuk merangsang pikiran kita untuk bisa lebih berkembang lagi, dan lebih luas lagi. Dari sekian banyak pemikiran tersebut pemakalah akan mengangkat tentang pemikiran filosof Plato dan Aristoteles. Pemikiran Plato dan Aristoteles ini sangat menarik untuk di bahas, karena sebagaimana kita ketahui bahwa Plato dan Aristoteles dikenal sebagai bapak Filsafat.

Atas dasar pemikiran Plato dan Aristoteles inilah yang menjadi latar belakang pembuatan makalah ini, Sejarah filosof dari thales sampai socrates belum pernah terdengar bahwa mereka menuangkan pemikiran mereka ke dalam sebuah tulisan, karena mereka lebih bersifat dialektika. Namun, setelah masuk zamannya Plato, kemudian pemikiran-pemikiran filsafat itu pun dibukukan, sehingga ada sebuah pedoman atau bahan untuk generasi berikutnya yang ingin mengkaji tentang pemikiran para filosof terdahulu.

B.     Pembahasan

1.      Plato

Plato dilahirkan sekitar tahun 428/427 SM di Athena. Dan meninggal di sana pada tahun 347 SM. Dalam usia 80 tahun. dia berasal dari keluarga bangsawan. Salon (abad ke-6 SM), sang pemberi hukum bagi Athena, adalah salah satu kakek dari sisi ibunya. Sementara dari pihak ayahnya, ia masih keturunan raja terkakhir Athena. Plato memiliki dua saudara ( Adimantes dan Glaukon ) serta satu saudari (Potone). Saat Plato lahir, Athena merupakan sebuah Kota yang paling berkuasa di Yunani dengan sistem demokrasi. Kekuatan militer dan maritimnya nomor satu, kultur intelektual dan artistiknya jauh mengatasi polis-polis lain di Yunani. Dia masih mudah ketika Athena kalah perang, dan dia menunjuk sistem demokrasi lah penyebab kekalahan itu.

Pelajaran yang diperoleh dimasa kecilnya Selain dari pelajaran umum, ialah menggambar dan melukis, belajar musik dan puisi. Ketika beranjak dewasa ia sudah pandai membuat karangan yang bersajak.

Pada masa anak-anaknya plato mendapat pendidikan dari guru-guru filosofi. pelajaran filosofi mula-mula diperolehnya dari Kratylos. Kratylos dahulunya adalah murid Herakleitos. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Socrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasaan baginya. Pengaruh Socrates makin hari makin mendalam padanya. Ia menjadi murid socrates yang setia. Sampai pada akhir hidupnya socrates tetap menjadi pujaanya.

Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekali pun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filosof  sebelumnya yang dapat menandinginya dalam hal ini. Ketika socrates meninggal, ia sangat sedih dan menamakan dirinya seorang anak yang kehilangan bapak.  Tak lama sesudah socrates meninggal, Plato pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara dua belas tahun lamanya, dari tahun 399 SM-387 SM. Mula-mula ia pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan filosofinya. Di ceritakan bahwa di Megara ia mengarang beberapa dialog, yang mengenai berbagai macam pengertian dalam masalah hidup, berdasarkan ajaran socrates.

Idealisme Plato Tentang Ilmu Filsafat

a.       Ajaran tentang ide         

Salah satu pemikiran Plato yang sangat fenomenal yakni ajaran tentang ide-ide. Ajaran tentang ide-ide ini merupakan inti dasar seluruh filsafat Plato. Namun, arti ide yang dimaksud oleh Plato berbeda dengan pengertian orang-orang moderen sekarang, yang hanya mengartikan bahwa kata ide adalah suatu gagasan atau tanggapan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja. Sehingga orang-orang akan menganggap bahwa ide merupakan suaatu yang bersifat subjektif belaka. Plato mengartikan kata ide itu merupakan suatu yang objektif. Menurut Plato ada ide-ide yang terlepas dari subjek yang berpikir. Beliau mengatakan bahwa semua yang ada di entitas ini semuanya ada di alam ide tersebut,  yakni alam tersebut di analogikan seperti cetakan kue dan kue-kuenya itu adalah entitas-entitas ini.

Menurut Plato ide-ide tidak bergantung pada pemikiran, sebaliknya pemikiran bergantung pada ide-ide. Justru karena ada ide-ide yang berdiri sendiri. Pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain dari pada menaruh perhatian kepada ide-ide itu.
Adanya ide-ide

Munculnya pemikiran Plato tentang ide-ide adalah terinspirasi dari gurunya yakni socrates. Dimana socrates dikisahkan bahwa beliau berusaha mencari defenisi-defenisi, ia tidak puas dengan menyebut satu persatu perbuatan-perbuatan yang adil atau tindakan-tindakan yang berani. Ia ingin menyatakan apa keadilan atau keberanian itu sendiri, atau bisa dikatakan bahwa socrates mencoba mencari hakikat atau esensi keadilan dan keutamaan-keutamaan lain tersebut. Karena pemikiran gurunya ini lah Plato kemudian meneruskan usaha gurunya tersebut lebih jauh lagi. Menurut dia esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan kongkret. Ide keadilan, ide keberanian dan ide-ide lain itu ada.

Menurut Plato realitas itu terbagi menjadi dua yakni: 

Dunia indrawi

Realitas yang pertama ini yakni adalah yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra, atau bisa dikatakan relaitas yang pertama yang dimaksud Plato adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh indra seperti bunga, pohon dan lain-lain. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu, lagi pula dunia indrawi ditandai oleh pluralitas. Sehingga bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga.

Dunia ide

Disamping ada dunia indrawi yang senantiasa berubah, menurut Plato ada juga sebuah dunia yang tidak pernah berubah yakni disebut dunia yang terdiri atas ide. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus karena hanya terdapat satu ide “ yang bagus”. Demikian pula dengan ide-ide yang lain yang bersifat abadi dan sempurna.

Namun, ketika Plato mengatakan bahwa dunia itu ada yakni dunia indrawi dan dunia ideal, kemudian apa keterkaitan antara kedua dengan dunia ini tersebut? Ide-ide sama sekali tidak di pengaruhi oleh benda-benda jasmani. Lingkaran yang digambarkan pada papan tulis lalu di hapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi ide “lingkaran”. Tetapi Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara ide-ide dan realitas jasmani bersifat seperti yang ada di atas, sehingga benda-benda jasmani tidak bisa tanpa pendasaran oleh Ide-ide itu.

b.      Manusia Menurut Plato

Plato menganggap jiwa sebagai pusat atau inti sari keperibadian manusia. Dalam anggapannya tentang jiwa, Plato tidak saja dipengaruhi oleh socrates, tetapi juga oleh orfisme dan madzhab Pythagorean. Dengn mempergunakan semua unsur itu, plato menciptakan suatu ajaran tentang jiwa yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai ide-ide.
Kebakaan jiwa

Plato meyakini dengan teguh bahwa jiwa manusia bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajarannya tentang ide-ide. Dalam dialog-dialognya plato sering kali merumuskan argumen-argumen yang mendukung pendapat-pendapatnya tentang kebakaan jiwa. Salah satu argumennya adalah kesamaan  yang terdapat antara jiwa dan ide-ide.

Dalam dialog Phaidros terdapat argumen lain yang bermaksud membuktikan kebakaan jiwa. Disini Plato menganggap jiwa sebagai prinsip yang menggerakkan dirinya sendiri dan oleh karenya juga dapat menggerakan badan. Plato tidak menjelaskan secara detail mengenai kebakaan jiwa. Dia hanya memberikan mitos yang melukiskan nasib jiwa sesudah kematian badan.
Mengenal sama dengan mengingat

Bagi Plato jiwa itu bukan saja bersifat baka, dalam artian bahwa jiwa tidak akan mati pada saat kematian badan, melainkan juga kekal, karena sudah ada sebelum hidup di bumi ini. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu Pra eksistensi, dimana ia memandang ide-ide. Plato berpendapat bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama, berdasarkan pendiriannya mengenai Pra Eksistensi jiwa, Plato merancang suatu teori tentang pengenalan. Bagi Plato pengenalan pada pokoknya tidak lain dari pada pengingatan akan  ide-ide yang telah dilihat pada waktu Pra Eksistensi itu,

Bagian-bagian jiwa

Jiwa terdiri dari 3’’bagian’’. Kata “ bagian” ini harus dipahami sebagai “fungsi” , sebab Plato sama sekali tidak memaksudkan bahwa jiwa mempunyai keluasan yang dapat dibagi-bagi. Pendirian Plato tentang tiga fungsi jiwa tentu merupakan kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia. Bagian pertama ialah bagian rasional ( to logistikon ). Bagian kedua ialah “bagian keberanian” (to thymoaeides). Dan bagian ketiga ialah “bagian keinginan” (to epithymetikon). “ bagian keberanian “ dapat dibandingkan dengan kehendak, sedangkan “ bagian keinginan” menunjukkan hawa nafsu.

Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa masing-masing dengan salah satu keutamaan tertentu. Bagian keinginan mempunyai pengendalian diri ( sophorosyne ) sebagai keutamaan khusus. Untuk “ bagian keberanian” keutamaan yang spesifik (andreia). Dan “bagian rasional” dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau sophia).  

Dikatakan bahwa karena hukum lah sehingga jiwa di penjarakan dalam tubuh. Secara mitologisnya kejadian ini diuraikan dengan pengibaratan jiwa adalah laksana sebuah kereta yang bersais (fungsi rasional), yang di tarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda kebenaran, yang lari keatas, ke dunia ide, dan kuda keinginan atau nafsu, yang lari ke bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik-menarik itu akhirnya nafsu lah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dipenjarakanlah jiwa.

Agar supaya jiwa dapat dilepaskan dari penjaranya, orang harus mendapatkan pengetahuan, yang menjadikan orang dapat melihat ide-ide, melihat ke atas. Jiwa yang di dalam ini berusaha mendapatkan pengetahuan itu kelak setelah orang mati, jiwa akan menikmati kebahagiaan melihat ide-ide, seperti yang telah dia alami sebelum dipenjarakan di dalam tubuh. Menurut Plato bahwa ada praeksistensi jiwa dan jiwa tidak dapat mati. Hidup di dunia bersifat sementara  saja, sekali pun demikian manusia begitu terpikat kepada dunia gejala yang dapat diamati, sehingga sukar baginya untuk naik ke dunia ide. Hanya orang yang benar-benar mau mengerahkan segala tenaganyalah yang akan berhasil. Dalam kenyataan hanya sedikit orang yang berhasil, karena masyarakat di sekitarnya tidak dapat mengerti perbuatan orang bijak yang mencari kebenaran dan berusaha keras untuk menahan orang bijak di dunia gejala ini.

c.       Ajaran Nilai Plato

Dikatakan dalam buku-buku yang menjelaskan tentang Plato, sebagian besar membahas tentang pemikiran-pemikiran Plato dibandingkan  sejarah beliau. Disamping itu Plato menjelaskan ajaran-ajaran tentang ide dan jiwa, namun Plato juga mengeluarkan pemikiran yang berkaitan dengan ketata negaraan. Plato membahas tentang sebuah negara yang ideal yakni disebutkan bahwa puncak pemikiran Plato adalah pemikiran tentang negara, yang  tertera dalam bukunya polites dan nomoi. Pemikirannya tentang negara ini adalah untuk upaya memperbaiki keadaan negara yang telah rusak dan buruk.

Di athena pada waktu itu memiliki suatu sistem negara yang buruk menurut Plato, sehingga mendorong beliau untuk membuat suatu konsep yang bisa memperbaiki konsep negara yang buruk itu. Konsepnya tentang negara yang dikeluarkan oleh Plato yakni konsep negara yang di dalamnya terkait etika dan teorinya tentang negara yang ideal. Konsep etika yang dikemukakan oleh Plato seperti halnya konsep etika yang dikeluarkan socrates gurunya sendiri, yakni tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudamonia atau well-being). Akan tetapi untuk hidup yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa di dalam negara. Alasannya, karena manusia mempunyai kodrat yakni makhluk yang sosial dan di dalam polis (negara).  Sehingga untuk mendapatkan hidup yang baik harus di dalam negara yang baik. Dan sebaliknya, negara yang jelek atau buruk tidak mungkin menjadikan para warganya hidup dengan baik.

Menurut Plato, untuk membangun sebuah negara yang ideal diperlukan sebuah konsep tentang negara yang baik. Menurutnya, negara yang ideal harus terdapat tiga golongan yang menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara yakni:

                 Golongan yang tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memerintah yakni seorang filosof.

       Golongan pelengkap atau menengah yakni yang terdiri dari para prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan negaradan menjaga ketaatan para warganya.

          Golongan terendah atau golongan rakyat biasa, yakni yang terdiri para petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul ekonomi negara.

Gambaran Plato tentang negara di ilustrasikan dengan bagian tubuh manusia seperti di bawah ini:

Tubuh
Jiwa
Sifat
Negara
Kepala
Akal
Kebijaksanaan
Pemimpin
Dada
Kehendak
Keberanian
Pelengkap
Perut
Nafsu
Kesopanan
Pekerja

Menurut Plato terciptanya negara yang baik tergantung pada siapa yang memerintah, jika akal yang memerintah sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka filosoflah yang harus mengatur masyarakat, sehingga dia mengatakan bahwa negara yang baik tidak akan pernah ada apabila filosof belum menjadi pemimpin di negara tersebut.

2.      Aristoteles

Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia.

Saat Alexander berkuasa pada tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari Athena guna menghindari nasib naas sebagaimana dulu dialami Socrates. Aristoteles meninggal tak lama setelah pengungsian tersebut Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan.

a.       Metafisika Menurut Aristoteles

            Sebutan metafisika sebenarnya adalah sebutan yang kebetulan. Yang mana sebutan ini bukanlah berasal dari Aritoteles melainkan dari Andronikus yang mencoba menyusun karya-karya Aristoteles mengenai filsafat pertama yang mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Metafisika berasal dari kata meta-ta-fisika. Meta sendiri berarti sesudah atau di belakang. Maka judul metafisika pada saat itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna mengungkapkan pandangan Aristoteles mengenai hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisik.  Metafisika aristoteles berpusat pada masalah “barang” (substansi atau materi pertama) dan “bentuk”(materi kedua). Ia mengemukakan bentuk sebagai pengganti pengertian idea Plato yang ditolaknya. Bentuk ikut memberikan kenyataan pada benda. Tiap-tiap benda didunia ini adalah barang (substansi) yang berbentuk. Barang atau materi dalam pengertian Aristoteles berlainan dari pendapat materi biasa tentang materi.

Segala perubahaan merupakan hasil dari pembentukan materi. Aristoteles mengemukakan bahwa sebab yang menggerakkan (perubahan) ialah Tuhan. Seperti yang kita liat secara realitas, gerak itu ada yang menyebabkan dan sampai akhirnya kita pada sebab-gerak pertama yang imateriil, tidak bertubuh, tidak bergerak dan tidak digerakkan, serta cerdas sendirinya. Sebab gerak yang pertama itu ialah Tuhan. Nus itu disamakan pula dengan pikiran murni, pikir dari pada pikir. Tuhan yang berbentuk pikiran itu tidak memerlukan manusia, tidak memerlukan benda-benda, melainkan sebaliknya dunia tergerak padanya. Setiap hal yang bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan ada satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu tetapi  Ia sendiri tidak digerakkan.

Aristoteles mengungkapkan bahwa segala perubahan itu ada 4 pokok sebab:
1.  
    Sebab-substansi (barang/materi pertama), yang memungkinkan terjadinya sesuatu atasnya dan dengannya. Sebagai contoh: kayu, batu, besi dll.

2.      Sebab-bentuk, yang terlaksana didalam substansi. Sebagai contoh: rumah.

3.      Sebab-gerak, sebab yang datang dari luar, yakni tukang pembuat rumah.

4.      Sebab-tujuan, yang dituju oleh perubahan dan gerak, yakni rumah yang sudah jadi.

Sebab tujuan ini adalah suatu yang penting dalam keterangan metafisika Aristoteles tentang alam. Jadi teleologinya memiliki 2 kategori, pertama kepercayaan agama bahwa segala yang terjadi di dunia ini adala suatu perbuatan yang terwujud oleh Tuhan, yang mengatur segala-galanya. Selain itu, ia berpendapat pula, bahwa alam ini dan yang hidup didalamnya merupakan berbagai jenis organisme yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan, alam tidak berbuat jika tidak bertujuan.

b.      Teori Empat Causa

Gagasan mengenai keempat sebab telah digagas oleh Aristoteles dalam bukunya. Kemudian, gagasan ini diperdalam dalam Metafisika. Elaborasi ini sesuai dengan disiplin metafisika sebagai pencaharian dan permenungan tentang sebab-sebab. Ke empat teori causa tersebut, yakni :

1. Causa materialis atau materia adalah sesuatu oleh mana terjadi atau terbuat suatu hal. Materia dari binatang-binatang adalah daging dan tulang, materia bagi patung adalah kayu atau marmer, materia bagi bangunan rumah adalah pasir, batu, kayu, semen dan lain sebagainya. Causa materialis merujuk pada bahan yang menjadi unsur untuk membuat segala sesuatu.

2. Causa formalis atau forma atau esensi dari segala sesuatu. Forma merujuk pada struktur atau hakekat yang membuat materi berbeda dari materi lainnya. Misalnya kayu gelondongan dapat dibuat menjadi sekian banyak barang karena formanya. Seperti untuk meja adalah ke-meja-an, kursi: ke-kursi-an, lemari: ke-lemari-an, manusia: ke-manusia-an dst.

3. Causa efficiens atau penggerak/pelaku adalah sesuatu dari mana perubahan dan gerak dari segala sesuatu berasal. Misalnya, tukang adalah orang yang membuat meja, kursi, lemari, pemahat adalah pelaku yang mengubah sebongkah marmer atau sepotong kayu menjadi patung atau benda-benda lainnya.

4. Causa finalis atau tujuan adalah sesuatu untuk apa suatu hal dibuat. Aristoteles mengatakan bahwa causa finalis adalah kebaikan dari setiap hal. Misalnya, kursi dibuat untuk duduk, meja untuk makan dan menulis, lemari untuk menyimpan pakaian atau piring dan mangkok, dst.

Jadi, eksistensi dari segala sesuatu selalu mensyaratkan keempat sebab tersebut. Itulah yang disebut dengan causa proxima dari segala sesuatu.

c.       Etika Kebahagiaan

Pandangan Aristoteles mengenai mencapai kebahagiaan sebagai tujuan akhir sejalan dengan pandangan Sokrates mengenai rasio. Menurutnya, pengetahuan saja tidaklah cukup untuk menjamin atau menjadi tolak ukur untuk memahami tujuan manusia hidup. Mau tidak mau, manusia harus melakukan suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan yang berkesan sembarangan atau sembrono belaka, tetapi melainkan tindakan yang mencerminkan kemampuan manusia yang bernilai dan bermakna. Inilah yang disebut dengan rasio. Rasio menciptakan dua pola kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut : 

         Theoria

Theoria artinya memandang (theorem)-, yaitu merenungkan suatu realitas secara mendalam. Hal ini melibatkan jiwa manusia (“logos” atau roh). Menurut Aristoteles, kegiatan ini adalah kegiatan yang paling luhur dan membahagiakan.
         
      Praxis

Praxis menjelaskan kebahagiaan dalarn relasi antar manusia. Praxis diwujudkan melalui tindakan-tindakan dalam sebuah komunitas (keluarga, masyarakat, negara) untuk sebuah pencapaian kebahagiaan bersama. Praxis yang benar dijelaskan dalam sebuah buku “Ethica Nikomacheia”, yang di dalamnya dirumuskan tentang keutamaan etis.

Advertiser

2 comments


EmoticonEmoticon